Monday, August 31, 2015

Cerita di Balik "I Find It in Your Eyes"

Super late post...

Buat saya, buku "I Find It in Your Eyes" akan selalu menjadi tulisan favorit saya. Memang, seiring dengan waktu saya sadar karya pertama saya itu banyak kekurangannya. Tapi nilai sentimentalnya yang tinggi membuat buku itu paling berkesan.

Saya terpikir menulis postingan ini gara-gara email seorang pembaca dan pertanyaan teman saya. Bagaimana cerita awalnya bisa menulis buku ini?

Ide "I Find It in Your Eyes" pertama muncul waktu saya masih SMP. Waktu itu saya sedang nonton film drama Korea berjudul "Save the Last Dance with Me". Entah kenapa saya jadi kepikiran untuk menulis karakter yang buta dan bertemu lagi dengan cowoknya setelah bertahun-tahun.

"Save the Last Dance with Me" menceritakan seorang laki-laki yang ingin menjadi fotografer namun ditentang oleh orang tuanya. Dia akhirnya kabur dan di tengah perjalanan tertabrak mobil. Dalam keadaan terluka dan hilang ingatan, laki-laki itu diselamatkan oleh seorang gadis desa yang hidup bersama ayahnya.

Dari kecil, kebanyakan buku yang saya baca merupakan karya terjemahan. Satu-satunya gaya menulis yang saya tahu hanya menggunakan bahasa baku. Karena tidak yakin bisa membuat percakapan normal dan mengalir ala orang Indonesia, saya akhirnya menulis "I Find It in Your Eyes" dengan setting luar negeri. Karakter Clara dan Michael juga orang bule.

Awalnya sih saya asyik-asyik saja menulis seperti itu. Tapi karena melihat ada teman saya yang diterbitkan bukunya, saya jadi terpikir untuk menerbitkan karya saya juga. Nah, dari situlah saya memutuskan untuk merombak total karakter dan setting yang sudah saya tulis. Kebetulan jadwal kuliah saya tidak begitu padat, saya jadi punya waktu luang untuk menuntaskan kisah Clara dan Michael itu.

Menulis itu susah. Karena sebelumnya saya menulis hanya untuk diri saya sendiri, saya pun kebingungan memulai suatu tulisan yang bisa layak dibaca orang lain. Sehari saya hanya berhasil menulis beberapa kalimat saja. Itu pun diedit berkali-kali. Tapi memulai sesuatu memang pekerjaan paling sulit. Seiring dengan waktu, saya berhasil menemukan gaya tulisan saya sendiri. Walaupun begitu, saya masih tetap belajar untuk menulis dengan lebih baik lagi. From zero to hero. #tsah

Selanjutnya saya ingin membahas beberapa karakter di buku saya. Sejarah munculnya mereka di kepala saya dan apa pendapat saya tentang mereka. Bagian ini mungkin mengandung spoiler bagi yang belum membaca bukunya.

Saya selalu suka cerita yang kompleks, tokohnya banyak, dan hidup mereka bisa saja berhubungan ataupun tidak. Karena alasan inilah, saya tidak pernah bisa menulis cerita pendek. Saya cenderung berpikir terlalu rumit.

"I Find It in Your Eyes" memiliki banyak karakter di dalamnya. Saya akan bahas beberapa yang menurut saya memiliki peran penting di dalam cerita.

Clara Jessica Mulya
Nama panjangnya dulu bukan "Mulya". Saya tidak ingat apa, "Anders" mungkin. Pokoknya nama western. Dialah tokoh utama yang siap "disiksa" sama saya. Karena saya percaya kebahagiaan dan kesuksesan tidak didapat dengan mudah, saya pun merancang cobaan dan kesialan untuk Clara sebelum akhirnya dia mendapat happy ending-nya sendiri. 

Clara adalah orang yang fokus dan taat aturan. Orang yang paling disayangi dan dikaguminya di dunia adalah ayahnya. Kebetulan ibunya meninggal saat melahirkannya. Sifatnya yang menerima nasib, selalu berusaha melakukan hal yang benar demi menyenangkan ayahnya, dan tidak pernah mengeluh adalah cara dia mengikuti nasehat ayahnya yang berpikiran sederhana. Di depan guru-guru dan orang tua lain, dia adalah anak emas. Tapi kalau buat saya, dia terlalu kaku dan serius. Kalau saya ketemu dia, saya bakal bilang, "Enjoy aja. Hidup itu cuma sekali." Walaupun begitu, saya suka tipe orang tenang dan suka membuat rencana seperti Clara. Orangnya punya prinsip dan tidak mudah berubah di tengah masyarakat yang selalu berubah-ubah. Saya selalu percaya padanya dan menganggap dia teman sejati.

Clara digambarkan berambut panjang sebahu. Menurut Michael, wajahnya memiliki kecantikan melankolis dan tidak mencolok. Dia senang mengenakan bandana.

Michael Stanley Ardityo
Di kepala saya, Michael itu adalah tipe cowok populer di sekolah yang suka bercanda. Dia punya banyak teman dari segala kalangan karena sifat easy going-nya. Dia juga suka pamer demi membuktikan kalau dirinya orang terkeren di sekolah. Salah satu caranya adalah menjadi playboy. Dia paling suka menaklukkan cewek-cewek yang dikejar banyak cowok lain. Dia jelas tidak pernah mundur dari tantangan. Pokoknya dia memiliki sifat yang sangat berlawanan dengan penyuka aturan seperti Clara. 
 
Buat saya, sosok Michael itu seperti penyegaran di pemandangan serius sekolah. Di saat semua orang belajar mendengarkan guru, dia pasti bikin ulah dan dimarahi karena nilainya yang jelek. Dia inilah tipe orang yang salah masuk sekolah. Seharusnya dia disekolahkan di tempat yang sesuai dengan minatnya, karena buktinya dia bisa serius mengikuti ekskul "dance" yang disukainya.

Oh, saya menemukan satu artis yang gaya berpakaiannya mirip dengan Michael di buku ini. Namanya Michael juga, dia itu salah satu tokoh di TV show "Glee" yang diperankan oleh Harry Shum Jr. T-shirt dipadukan kemeja kotak-kotak, kemeja dan rompi hitam, atau sekadar kaos dengan jaket olahraga. 

Michael Chang di "Glee"

Vanessa Ediwan
Saya paling suka tokoh ini entah kenapa. Mungkin karena dia punya banyak sifat yang bertolak belakang di dalam dirinya. Dia cantik, kaya, dan dikejar banyak cowok, tapi hatinya hanya untuk Michael seorang. Dia ambisius dan idealis, tapi sangat sentimental dan romantis. Dia sangat menyayangi Clara sebagai sahabat, tapi dia bersikap munafik di depan Clara. Dia haus akan kasih sayang, tapi dia tidak pernah jujur dan selalu memendam segala masalah dalm hatinya sendiri. Dia berani menentang perjodohan yang diatur oleh ibunya, tapi terlalu pengecut dalam menghadapi Michael. Mungkin di kehidupan nyata, saya akan capek berteman dengan orang seperti ini. Intens, penuh drama, conflicted, dan sensitif. Tapi saya suka tokoh rumit seperti ini di dalam buku. Karena itulah, saya bakal menuliskan cerita dengan Vanessa sebagai tokoh utamanya.

Frans Mijaya
Saya menggambarkan dia sebagai menantu yang disukai orang tua bagi anak perempuannya. Pekerja keras, mandiri, perhatian, menghormati orang tua, penyayang, dan sangat bertanggung jawab. Dan dia dokter. Kayaknya zaman dulu orang tua selalu suka anak perempuannya menikah dengan dokter. 

Jujur, saya tidak begitu suka tokoh baik yang sempurna. Kurang seru. Tapi saya berhutang happy ending pada dokter satu ini, jadi mungkin saya akan menulis cerita tentang Frans kapan-kapan.

Olivia dan Janette
Kedua teman Clara ini saya tambahkan belakangan. Awalnya, teman Clara hanya Vanessa saja. Tapi karena saya merasa hidup Clara terlalu sepi, saya menambahkan dua orang ini. 

Lynn Kรถhner
Sama seperti Olivia dan Janette, dia ditambahkan karena saya ingin teman Clara tidak hanya Vanessa saja dan tidak hanya berasa dari sekolah saja. Tapi sejarah tokoh seorang Lynn sebenarnya sudah lama sekali. Dia adalah salah satu tokoh utama di salah satu cerita saya yang lain. Jika suatu saat saya menyelesaikan cerita itu, mungkin kalian akan mengenal Lynn lebih banyak lagi. Singkat kata, saya suka sama si cerewet dan tokoh kurang ajar ini.

Bobby Widjatko
Dia ada sebagai pengingat Michael. Karena Michael bukan tipe orang rumahan yang suka curhat pada keluarganya, saya perlu menciptakan tokoh sahabat yang bisa dipercaya. Bob sangat idealis, terutama dalam membela orang yang lebih lemah. Bob digambarkan sebagai orang yang aktif berorganisasi dan punya banyak kenalan, terutama di bidang organisasi yang menolong anak-anak susah. Dia berani mendidik dan memarahi Michael. Dia juga fleksibel mengikuti pergaulan Michael walaupun dia tidak terpengaruh dengan gaya hidup hedon di sekitarnya. Di mata saya, Bob ini orang yang terlahir menjadi pemimpin, pelindung, dan pendidik.

Eddie Mulya, ayah Clara
Beberapa teman saya yang sudah membaca karya saya yang lain bilang kalau saya penulis yang kejam. Saya tidak pernah menulis buku tanpa adegan kematian. Pasti ada saja tokoh yang saya "bunuh". Memang saya selalu merencanakan begitu. Kematian adalah akhir yang paling mutlak dan menyedihkan. Mungkin tidak sesedih kematian tokoh yang difitnah tanpa bisa membalas sampai akhir seperti Gatsby, tokoh fiksi yang ditulis F. Scott Fitzgerald. Tapi saya rasa kematian dalam novel itu perlu biar nuansa sedihnya lebih nendang. :P Jadi, fungsi ayah Clara ini untuk dibunuh saja, Sab?

Seperti yang saya tulis di awal, saya ini orang yang sentimental. Penulis yang sentimental. I can't help liking all my characters. Walaupun mereka semua tokoh fiktif, mereka sudah saya anggap sebagai teman yang menemani saya menulis selama dua tahun saya mengarang kisah "I Find It in Your Eyes."

No comments:

Post a Comment